Herpetofauna


     Herpetofauna merupakan fauna yang meliputi kelas Amphibia dan Reptilia yang keduanya biasanya digabung menjadi satu kelompok karena mempunyai pergerakan yang relatif lamban dengan cara merayap. Jumlah Herpetofauna di dunia cukup banyak yaitu sekitar 4600 jenis Amphibia dan 6000 jenis Reptilia (Pough et al., 1998).
       Indonesia memiliki tidak kurang dari 16% keanekaragaman Herpetofauna di dunia. Dari 4.950 jenis Amphibia yang ada di dunia (Duellman and Trueb, 1986), 350 jenis diantaranya menghuni kepulauan Indonesia, yaitu tergabung dalam dua ordo; Gymnophiona/Apoda (Amphibia tidak berkaki = 12 jenis) dan Anura (kodok dan katak = 338 jenis). Sedangkan ordo Caudata (Salamander) tidak hidup di wilayah Indonesia (Iskandar & amp; Colijn, 2000).
       Untuk kelas Reptilia, dari 7400 jenis yang ada di dunia, 800 jenis diantaranya terdapat di Indonesia yang tergolong dalam 3 ordo; ordo Testudinata (kelompok Penyu, Bulus dan Kura-kura = 40 jenis), ordo Crocodilia (Buaya dan Senyulong = 5 jenis) dan ordo Squamata, yang terbagi menjadi dua sub ordo ; yaitu Lacertilia (Kadal = 405 jenis) dan Ophidia (Ular =350 jenis) (de Roiij, 1915).
       Amphibia dan Reptilia  merupakan hewan yang kerap disebut berdarah dingin. Istilah ini kuranglah tepat karena suhu bagian dalam, yang diatur mengunakan perilaku mereka, seringkali lebih panas daripada burung dan mamalia terutama pada saat mereka aktif. Bahan suhu tubuh mereka, terutama di iklim panas, bisa jadi lebih panas daripada hewan-hewan yang dikenal sebagai “berdarah panas”. Baik Amphibia maupun Reptilia bersifat ectothermic dan poikilotherm yang berarti mereka menggunakan sumber panas dari lingkungan untuk memperoleh energi. Perbedaan utama antara “berdarah dingin” dan “berdarah panas” adalah yang pertama suhu tubuhnya lebih berfluktuasi dengan adanya masukan dari lingkungan. Sementara hewan berdarah panas (mamalia, misalnya) adalah homeothermic dimana suhu tubuh dikelola dengan metabolism tubuh. Beberapa Reptilia besar seperti buaya, penyu dan kadal besar bahkan mencapai tingkat homeothermy, yaitu suhu mereka tidak terlalu berfluktuasi dengan lingkungan. Hal ini disebabkan oleh adanya proses giganthothermy, dimana hewan yang sangat besar akan mempertahankan suhu badan konstan dengan sedikit masukan dari lingkungan (Kusrini et al., 2008).
      Hewan poikilotherm memiliki metabolism rendah, oleh karena itu mereka mampu tidak makan dalam waktu yang relatif lama. Sebagai contoh, beberapa jenis ular dapat makan hanya satu bulan sekali. Namun demikian, kebanyakan katak harus makan setiap hari atau beberapa hari sekali, kecuali pada saat dorman dimana mereka bisa tidak makan selama beberapa bulan (Kusrini et al., 2008).
       Ketergantungan Amphibia terhadap lingkungannya bagi kepentingan suhu tubuhnya membuat Amphibia umumnya terbatas pada habitat spesifik. Karena Amphibia memiliki kontrol yang kecil terhadap suhu tubuhnya, maka demi kesehatan maka Amphibia harus tetap berada dalam lingkungan dengan batas-batas suhu yang sesuai. Dalam satu habitat, banyak terdapat mikro-habitat yang memiliki suhu berbeda dengan suhu ambien. Amphibia menggunakan posisi tubuh untuk memanfaatkan mikro-habitat ini, yaitu dengan cara memaparkan tubuh ke permukaan atau sebaliknya. Beberapa jenis Amphibia juga mampu mengurangi kehilangan uap air dari kulit, yang merupakan tehnik penguruangan suhu yang penting. Kebanyakan Amphibia mampu mengubah warna agar mampu menyerap atau merefleksikan jumlah radiasi matahari. Katak pohon dari marga Hylidae misalnya, seringkali memiliki warna hijau yang berbeda saat panas (Kusrini et al., 2008).
      Perbedaan utama antara Amphibia dan Reptilia terletak pada perkembangan embrio. Reptilia seperti juga burung, dan mamalia memiliki telur amniota, yang berarti embrio dilindungi oleh membrane embrio yang disebut sebagai amnion. Amnion berkembang awal pada embrio, dan berfungsi sebagai lapisan cairan pelindung yang menutup embrio dalam rongga embrionik. Amniota tumbuh dalam ‘kolam di bagian dalam” dari amnion dan tidak memerlukan sumber air bagian luar. Telur Reptilia juga dilindungi oleh cangkang. Cangkang ini tidak bersifat tertutup karena masih mampu bertukar hara dengan lingkungan (cleidoic egg) (Kusrini et al., 2008).
      Di lain sisi, Amphibia tidak memiliki amnion dan disebut anamniota. Telur Amphibia “telanjang”, hanya dilindungi oleh lapisan gelatin semi-permeabel dan tergantung pada air dari sumber luar. Oleh karena itulah tipe telur biphasic didepositkan ke sumber air, dimana mereka nanti akan berkembang menjadi larva akuatik, dan akhirnya (umumnya) akan bermetamorphosis into permudaan terrestrial. Telur Amphibia memerlukan oksigen yang diperoleh dari difusi dengan air. Produk buangan dari dalam telur juga akan berdifusi keluar ke air. Telur Amphibia terrestrial umumnya rawan terhadap kekeringan (desikasi) karena mereka mengambil dan menyerap uap dari lingkungan yang lembab. Katak pohon Phyllomedusine mengembangkan tehnik yang unik dimana mereka akan menghasilkan telur yang tidak memiliki embrio namun memiliki air metabolic yang akan disimpan di sekitar telur-telur berembrio untuk menyediakan air jika diperlukan (Kusrini et al., 2008).
     Menurut Kusrini et al. (2008) perbedaan Amphibia dan reptil yang kedua terletak pada kulit. Bagian terluar (integument) kulit reptil ditutupi oleh sisik, sementara Amphibia memiliki kulit dengan permeabelitas tinggi dan memiliki kelenjar. Pada Amphibia, kulit merupakan organ yang penting. Kulit katak memiliki sifat permeabilitas, dimana air dan gas dapat “keluar-masuk”. Kulit katak juga berfungsi sebagai alat pernafasan dan harus lembab sehingga tidak kekeringan. Oleh karena itu katak harus mengembangkan adaptasi yang berhubungan erat dengan sifat dari kulit mereka. Untuk mengurangi kemungkinan kulit mengering maka adaptasi yang dilakukan antara lain:
• Merapatkan tubuh untuk mengurangi luas permukaan yang bisa mongering
• Hidup dekat badan air
• Berlindung di tumbuhan teduh atau permukaan batu
• Menutupi kulit dengan bahan licin dan
• Masuk ke dalam tanah
      Seperti juga pada beberapa jenis Reptilia (yang terlihat jelas adalah ular) yang mengelupaskan kulitnya maka pada waktu-waktu tertentu katak juga akan mengelupaskan kulit bagian atas (stratum corneum) secara berkala, terutama saat tumbuh. Kebanyakan dari jenis Amphibia akan memakan kulit lamanya, yang merupakan sumber air dan unsur hara (Kusrini et al., 2008).
     Baik Amphibia dewasa dan Reptilia bernafas dengan paru-paru. Amphibia muda (saat baru menetas disebut dengan istilah berudu) umumnya bernafas dengan insang. Pada saat metamorphosis, terjadi perubahan dari segi morfologis dimana bentuk serupa ikan pada berudu yang bernafas dengan insang ini berubah menjadi vertebrata bertungkai yang bernafas dengan paru-paru (Kusrini et al., 2008).
    Jenis-jenis Reptilia yang hidup di air umumnya mengembangkan adaptasi yang berhubungan dengan kemampuan mereka menahan oksigen dalam paru-paru dan membantu pergerakan dalam air. Karena bernafas di udara maka penyu dan ular air yang sebagian besar hidupnya ada di dalam air harus naik ke permukaan untuk mengambil oksigen dari udara. Penyu juga memiliki metabolisme rendah yang memungkinkan mereka menyelam dalam waktu lama, sebagai contoh penyu hijau bisa bertahan 5 jam di bawah air. Saat menyelam detak jatung penyu melambat sehingga bisa mengkonservasi oksigen: antara satu detak jantung berkisar 9 menit. Sementara ular air memiliki paru-paru yang memanjang hampir di seluruh tubuhnya sehingga mampu menyimpan oksigen secara efektif. Ular air dapat bertahan lama di dalam air, catatan menunjukkan bahwa ular air mampu bertahan di air 30 menit sampai 2 jam. Untuk mencegah udara masuk ke paru-paru saat menyelam, ular air memiliki katup hidung yang membuka ke dalam dan tertutup oleh jaringan erektil yang dipenuhi oleh darah seperti penis. Untuk membantu pergerakan dalam air, penyu memiliki tungkai yang bermodifikasi seperti dayung sehingga mereka mampu bergerak dengan cepat di laut. Sementara ular laut memiliki bentuk badan yang memanjang pipih (elongate) yang membuat mereka dapat berenang dengan efisien. Kebanyakan jenis ular laut memiliki ekor yang berbentuk seperti dayung yang meningkatkan kemampuan lokomotor mereka di air (Kusrini et al., 2008).
    Untuk mempertahankan diri dari mangsa dan penyakit ataupun memudahkan menangkap mangsa, Amphibia dan Reptilia mengembangkan berbagai pertahanan diri. Pewarnaan berfungsi baik sebagai kamuflase maupun peringatan terhadap predator potensial atas keberadaan racun. Secara morfologi, bentuk dan warna yang menyerupai lingkungan sekitar menyulitkan predator memangsa mereka. Kulit Amphibia memiliki kelenjar mucus. Sekresi mucus membuat kulit tetap lembab, mencegah masuknya bakteri dan pathogen lainnya. Beberapa jenis katak mempunyai kelenjar beracun (glanular gland) pada kulit yang pada saat terganggu akan mengeluarkan cairan berwarna susu ataupun bening (kadang-kadang berbau dan lengket) yang bersifat racun yang secara kimiawi terdiri dari bicyclic dan steroid alkaloid. Kelenjar ini biasanya terkonsentrasi pada kepala atau pada bintil-bintil di sepanjang tubuh dan disebuat sebagai kelenjar paratoid (Kusrini et al., 2008).
       Jenis-jenis katak dari Amerika Selatan memiliki racun yang sangat kuat yang dapat mematikan manusia. Katak Dendrobates memiliki warna yang indah sebagai “tanda” bahwa mereka beracun. Hasil penelitian menunjukan bahwa racun ini sebagian besar berasal dari serangga yang dimakan mereka, oleh karena itu katak-katak Dendrobatidae yang ditangkarkan dan diberi makana biasa akan kehilangan daya racunnya. Racun kodok umumnya memiliki kandungan kimiawi berupa Biogenic amines yaitu epinephrine, nor epinephrine, dopamine, epinine, indolealkylamines yang dapat mengakibatkan halusinasi dan melembutkan otot. Beberapa jenis Amphibia dan retil yang tidak berbahaya kadang-kadang memiliki warna atau serupa dengan jenis lain yang berbisa untuk mengelabui predator mereka (Kusrini et al., 2008).
     Beberapa jenis ular mematikan mangsanya dengan cara melilitkan badannya terhadap mangsa. Hal ini membuat mangsa menjadi lemas tidak dapat bernafas. Sementara ular lain memiliki bisa yang sebenarnya merupakan modifikasi dari air liur. Bisa ular memiliki daya yang berbeda dan berkerja melumpuhkan mangsa dengan cara melumpuhkan melalui darah atau sistim saraf belakang. Tidak semua bisa ular mematikan, hal ini tergantung pada jenis ular dan juga mangsa yang tergigit (berat mangsa). Hanya sebagian kecil yang berakibat fatal karena ular mampu mengontrol jumlah bisa yang dikeluarkan, hal ini mungkin yang membuat sekitar 95% penyembuhan efektif. Racun ular laut lebih berbisa daripada ular di darat namun resiko lebih kecil. Kebanyakan ular laut pemalu dan menjauhi manusia kecuali diprovokasi. Bahkan seringkali mereka tidak menggunakan bisanya. Hal ini karena bisa digunakan untuk melumpuhkan mangsa bukan untuk pertahanan. Sekitar 65% gigitan ular laut tidak mengeluarkan “bisa”. Walaupun demikian gigitannya tidak boleh disepelekan. Kebanyakan gigitan ular laut terjadi pada kapal trawling, ketika ular tertangkap tak sengaja dengan ikan-ikan. Ular berbisa antara lain dari kelompok Elapidae, Hidrophiidae, Viperidae, Crotalidae dan Colubridae. Sedangkan kadal yang berbisa hanya ada dua di dunia yaitu Gila Monster dan Mexican beaded lizard (Kusrini et al., 2008).
      Usia Amphibia dan Reptilia beragam. Umumnya Reptilia dapat bertahan hidup relatif lebih lama dibandingkan dengan Amphibia. Jenis Reptilia seperti buaya Crocodylus porosus dapat hidup sampai 70 tahun dan mungkin mencapai 100 tahun, sementara kura-kura Galapagos dapat hidup lebih dari 200 tahun. Sementara katak tertua adalah katak Xenopus laevis yang mencapai usia 30 tahun 4 bulan dan kodok tebu Bufo marinus yang mencapai usia 24 tahun saat dipelihara (Kusrini et al., 2008).
     Herpetofauna pada masa kini mendapat tantangan yang begitu berat melawan kepunahan. Terbukti beberapa bulan yang lalu diberitakan di berbagai media massa laporan dari IUCN (2004) yang menyebutkan bahwa telah terjadi kepunahan beberapa Herpetofauna. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa lebih dari sepertiga populasi Herpetofauna di dunia sedang atau telah mengalami penurunan (IUCN, 2004). Laporan ini “menghebohkan” para pengamat lingkungan karena dianggap sebagai bukti terjadinya gelombang ke-enam kepunahan massal spesies di dunia. Salah satu kepunahan massal yang paling fenomenal di Bumi adalah hilangnya Dinosaurus berjuta-juta tahun yang lalu. Penyebab kepunahan jenis ini beragam, bisa disebabkan oleh satu atau kombinasi dari penyebab, antara lain pengurangan habitat, pencemaran (polusi), introduksi spesies eksotik, penyakit dan parasit, serta penangkapan untuk dijadikan komoditas (Alford dan Richards, 1999).

Comments

Popular posts from this blog

Tugas Kuliah: Northern Blotting

Gonocephalus chamaeleontinus

Ektoparasit pada Kucing Liar