Situs-situs Purbakala di Indonesia

  Situs Liang Bua

Secara umum wilayah Manggarai merupakan daerah dataran tinggi, terletak ± 1000 m di atas permukaan laut. Sebagian besar daerahnya merupakan perbukitan gamping, akan tetapi daerahnya cukup subur. Bahkan wilayah Manggarai sejak dulu dikenal sebagai salah satu lumbung padi untuk wilayah NTT. Hamparan sawah-sawah yang ditata sistematis, dengan lahan sawah yang membentuk konfigurasi seperti sarang laba-laba yang disebut lingko merupakan pemandangan yang sangat menakjubkan.

Di samping memiliki potensi sumberdaya lingkungan, dengan pemandangan alamnya yang menarik, Manggarai ternyata menyimpan potensi sumberdaya budaya yang sangat mengagumkan. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Manggarai secara umum sangat kuat memegang teguh adat-istiadat dan tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Di wilayah Manggarai ini juga kaya akan situs-situs arkeologi yang hampir ditemukan di seluruh daerah ini. Salah satu di antaranya adalah Situs Liang Bua yang saat ini sedang mendapat sorotan dunia internasional.

Liang Bua merupakan salah satu situs gua yang terletak di daerah perbukitan karts di wilayah Manggarai. Nama “Liang Bua” oleh masyarakat setempat diartikan “gua yang dingin”. Secara administratif masuk dalam wilayah Desa Liang Bua, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT. Terletak ± 14 km di sebelah utara kota Ruteng, Ibukota Kabupaten Manggarai, pada ordinat 080 31’ 50.4” Lintang Selatan dan 1200 26’ 36.9” Bujur Timur, dengan ketinggian ± 500 m di atas permukaan laut. Gua yang memiliki ukuran maksimum: panjang ± 50 m dan lebar ± 40 m serta tinggi atap ± 25 m ini terletak sekitar 200 m di sebelah Barat Laut pertemuan dua buah sungai (dalam bahasa Manggarai sungai = wae), yaitu Wae Racang dan Wae Mulu. Dilihat dari kondisi fisiknya, gua ini memang memungkinkan dan layak sebagai tempat tinggal di masa lalu. Permukaan lantai gua luas dan relatif datar, sirkulasi udara sangat baik karena mulut gua lebar dan atap tinggi, serta mendapat sinar matahari yang cukup sepanjang musim. Di samping itu, keletakannya yang dekat dengan daerah aliran sungai memberi peluang lebih besar dalam memperoleh beberapa jenis sumberdaya lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Kondisi lingkungan di sekitar gua relatif subur, lahan di daerah ini oleh masyarakat setempat sebagian diolah menjadi perkebunan kopi, sebagian lagi dimanfaatkan sebagai sawah tadah hujan dan sawah irigasi, terutama lahan-lahan di daerah bantaran sungai dan lembah-lembah.

Sejak tahun 1946-1949 Gua Liang Bua dimanfaatkan sebagai sekolahan bagi anak-anak di Desa Liang Bua dan sekitarnya. Tertarik akan informasi ini Theodore Verhoeven, seorang Misionaris Belanda yang mengajar di Seminari Mataloko, Kabupaten Ngada, Flores, bersama dengan beberapa pastor meninjau Gua Liang Bua. Ketika melakukan peninjauan inilah di permukaan lantai gua ditemukan pecahan-pecahan tembikar dan serpih batu. Temuan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan test pit pada tahun 1950.

Pada tahun 1965 Th. Verhoeven melakukan penggalian di Situs Liang Bua. Berdasarkan hasil penelitian inilah kemudian diketahui bahwa Gua Liang Bua memiliki jejak-jejak hunian masa lalu. Hal itu antara lain dibuktikan dengan temuan 7 buah kubur manusia beserta beberapa bekal kubur yang antara lain terdiri dari periuk, kendi, dan beliung. Diperkirakan kubur-kubur tersebut berasal dari masa neolitik dan paleometalik.

Setelah Pastor Verhoeven pensiun, maka penelitian terhadap Situs Liang Bua kemudian dilanjutkan oleh para arkeolog Indonesia. Sejak tahun 1978-1989 dilakukan penelitian arkeologi secara intensif di Situs Liang Bua oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (sekarang Asdep Urusan Arkeologi Nasional) di bawah pimpinan Prof. Dr. R.P. Soejono. Selama rentang waktu tersebut telah dibuka 10 kotak gali, yang memberikan informasi sangat lengkap tentang jejak-jejak kehidupan masa lalu di Situs Liang Bua; yang secarakronologis memperlihatkan fase-fase penghunian dari masa prasejarah, yaitu mulai dari paleolitik–mesolitik–neolitik–hingga paleometalik (masa logam awal). Informasi tersebut memberikan gambaran bahwa Situs Liang Bua telah dihuni secara berkelanjutan dari satu fase ke fase berikutnya, seiring dengan perkembangan budaya waktu itu. Hal ini telah menempatkan Situs Liang Bua sebagai salah satu situs arkeologi yang penting, baik ditingkat nasional, regional, maupun internasional. Penelitian terakhir dilakukan tahun 1989, dan setelah itu tidak dilakukan penelitian lagi karena keterbatasan dana. Setelah tidak diteliti selama ± 12 tahun, maka sejak tahun 2001 – 2004 atas prakarsa Prof. Dr. R.P. Soejono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (sekarang Asdep Urusan Arkeologi Nasional) dan Prof. Dr. Mike Morwood dari Universitas New England, Australia, dilakukan penelitian bersama yang melibatkan para arkeolog dari kedua negara.

Dipilihnya Situs Liang Bua sebagai obyek penelitian antara lain didasarkan atas beberapa pertimbangan: 1). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, situs ini memiliki potensi yang besar untuk memberikan gambaran tentang berbagai aspek dari kehidupan manusia di masa lalu; 2). Keletakan Flores di antara dua benua, yaitu Asia dan Australia, jelas akan memainkan peranan penting dalam proses persebaran manusia, budaya, dan binatang dari daerah barat ke timur, atau sebaliknya dari timur ke barat.

Salah satu tujuan penelitian bersama ini adalah untuk memperoleh gambaran selengkap mungkin tentang kehidupan masa lalu di Situs Liang Bua, terutama pada kehidupan awal. Dalam penelitian ini tidak hanya difokuskan pada tinggalan budaya saja, akan tetapi juga menyangkut masalah kronologi. Untuk itulah dilakukan penelitian bersifat interdisipliner, dimana dilibatkan beberapa ahli yang terkait dalam rangka pemahaman tentang kehidupan di masa lalu tersebut. Dalam penelitian ini secara tidak langsung telah dikembangkan pula teknik dan metodologi penelitian arkeologi dalam perspektif yang luas. Di samping itu juga dilakukan pengembangan dalam hal pertanggalan (dating) untuk menentukan kronologi situs. Karena penelitian bersifat interdisipliner, maka selain arkeolog di dalamnya juga dilibatkan para ahli dari disiplin ilmu lain, antara lain geologi, geomorfologi, geokronologi, paleontologi, palinologi, dsb.

Temuan fauna yang paling menonjol pada lapisan di bawah abu vulkanik adalah tikus, yang terdiri dari tikus besar dan tikus kecil. Temuan tikus besar terutama berasal dari jenis Papagomys armandvillei dan Papagomys theodorverhoeveni, yang oleh masyarakat setempat disebut betu, memiliki ekor belang-belang berwarna hitam–putih. Jenis tikus ini hingga saat ini masih sering dijumpai di daerah sekitar Liang Bua dan menjadi salah satu jenis binatang buruan. Pada umumnya masyarakat pedesaan di Manggarai hingga saat ini masih berburu tikus untuk dikonsumsi, dengan menggunkan perangkap sederhana yang disebut nggepit. Sementara itu temuan tikus kecil yang paling dominan adalah dari jenis Rattus, Floresomys naso, dan Komodomys rintjanus. Jenis temuan binatang lainnya antara lain: komodo, kura-kura, biawak, kalong (Megachiroptera), kelelawar (Microchiroptera), beberapa jenis pengerat, ular, burung, ikan, belut dsb.

Salah satu temuan tulang binatang yang sangat menarik dan baru pertama kalinya ditemukan di situs gua (situs hunian) di Indonesia, adalah Stegodon. Sebagian besar Stegodon yang ditemukan di Situs Liang Bua berasal dari jenis yang kerdil yaitu Stegodon sondaari, dan beberapa di antaranya berasal dari jenis yang besar disebut stegodon florensis (sebelumnya jenis ini oleh Hoijer disebut Stegodon trigonochephallus florensis). Berdasarkan atas ciri-ciri giginya, dapat dikemukakan bahwa sebagian besar Stegodon yang ditemukan di Situs Liang Bua masih anak (belum dewasa) dan hanya sebagian kecil yang sudah dewasa. Stegodon di Liang Bua ini ditemukan dalam satu konteks dengan temuan artefak batu. Beberapa di antaranya bahkan ditemukan dalam satu konteks dengan temuan bekas abu pembakaran. Hal ini memberikan gambaran bahwa stegodon tersebut diburu dan dikonsumsi oleh penghuni Liang Bua. Berdasarkan analisis tulang dan gigi, stegodon yang ditemukan di Situs Liang Bua diperkirakan berjumlah lebih dari 15 individu.

Pada penelitian tahun 2003 di Sektor VII ditemukan rangka manusia yang hampir utuh dalam kondisi yang sangat rapuh, sehingga diperlukan waktu berbulan-bulan untuk merekonstruksi dan mengeraskannya. Fragmen tulang-tulang manusia ini ditemukan dalam konteks dengan Stegodon dan tulang-tulang binatang yang lain, serta artefak batu. Rangka manusia ini ditemukan pada kedalaman 595 cm. Setelah berhasil direkonstruksi dan mulai kuat (keras), diketahui bahwa rangka manusia tersebut secara anatomi memiliki ukuran yang sangat kecil. Berdasarkan hasil analisis awal yang dilakukan oleh A/Prof. Peter Brown dari Universitas New England, Australia, diperoleh gambaran bahwa tinggi manusia ini sekitar 106 cm dengan volume otak sekitar 380 cc, serta berjenis kelamin perempuan. Si “mungil” dari Liang Bua ini kemudian diberi nama Homo floresiensis, sesuai dengan nama pulau dimana dia ditemukan.

Informasi tentang manusia kerdil Liang Bua ini masih tahap awal, sehingga masih perlu dikaji lebih mendalam yang melibatkan berbagai ahli, baik dari dalam maupun luar negeri, karena hal ini menyangkut kepentingan dunia ilmu pengetahuan, bukan hanya untuk Indonesia tetapi untuk dunia.

 

2.      Situs Patiayam

Bukit Patiayam merupakan bagian dari Gunung Muria. Luasnya mencapai 2.902,2 hektar, yang tersebar di wilayah Kecamatan Jekulo Kabupaten Kudus (1.573,5 hektar) dan di wilayah Kecamatan Margorejo, Gembong, Tlogowungu Kabupaten Pati, 1.328,7 hektar  Merupakan kawasan milik Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pati.

Secara morfologi menurut  Yahdi Zaim dari Geologi Institut  Teknologi Bandung (ITB) merupakan  kubah (dome) dengan puncak ketinggian 350 meter di atas permukaan laut. Batuannya berumur sekitar 1 juta hingga 700.000 tahun  atau pada masa plestosen yang mengandung fosil vertebrata dan manusia purba (homo erectus). Yahdi Zaim  dalam penelitiannnya di tahun 1979,  menemukan  sebuah gigi prageraham bawah dan tujuh buah pecahan tengkorak manusia. Selain itu  ditemukan pula  sejumlah besar tulang belulang binatang purba antara lain Stegodon trigonocephalus (sejenis gajah purba), Elephas sp (juga jenis gajah), Cervus zwaani dan Cervus lydekkeri Martin, Rhinoceros sondaicus (sejenis badak), Sus brachygnatus dubvis (babi), Felis sp. (harimau), Bubalus palaeokerabau (sejenis kerbau), Bos palaeosondaicus (sejenis banteng) dan Crocodylus sp. (buaya).

Setelah itu  Tim Pusat  Penelitian dan Penggalian Benda Purbakala Jogja, April 1981, menemukan dua fosil gading gajah berukuran panjang 2,5 meter, berdiameter 15 centimeter di Bukit Patiayam wilayah Kecamatan Margorejo Kabupaten Pati. Akhir November 1982,  Sukarmin, warga Desa Terban Kecamatan Jekulo (Kudus)  juga menemukan dua fosil gading gajah di Gunung Nangka (bagian dari Bukit Patiayam), berukuran 3,17 meter dan 1,44 meter. Sampai sekarang  masih disimpan di Museum Ronggowarsito Semarang. Sedang Kepala Seksi Kebudayaan Dinas  Pendidikan Kabupaten Kudus, Sutikno pada saat yang hampir bersamaan juga menemukan fosil gading gajah di  petak  22 Gunung Slumprit (bagian dari Bukit Patiayam).

 

3.      Situs Trinil

Ratusan tahun silam di Tanah Jawa, tepatnya di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo, sebuah sejarah besar tentang manusia purba terkuak. Dari penggalian yang dilakukan Eugene Dubois, seorang dokter berkebangsaan Belanda ditemukan beberapa pecahan batu. Mulai dari gigi geraham, tulang paha, tengkorak manusia purba dan binatang. Upaya Dubois tidak bisa dibilang asal-asalan. Dirinya waktu itu, tertantang dengan teori Human Origin, yang dikemukakan Charles Robert Darwin (1809-1882). Dalam teori itu menyatakan bahwa manusia ini berasal dari evolusi kera. Berdasar teori Human Origin, Dubois meninggalkan negeri kincir angin menuju Indonesia pada tahun 1887. Selain itu ada dua alasan yang dijadikan acuannya kali ini. Pertama, berdasarkan buku The Descent of Man, menceritakan bahwa nenek moyang manusia seharusnya hidup di daerah tropis. Karena manusia purba sudah kehilangan bulu selama perkembangannya. Alasan kedua, di Hindia-Belanda (Indonesia) banyak gua-gua, jadi tak mustahil akan ditemui fosil-fosil atau bekas kehidupan manusia purba. Beberapa teori dan alasan itulah Eugene Dubois, bertekad untuk membuktikan penelitiannya dengan menggali di beberapa daerah. Khususnya yang ada di Pulau Jawa di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo. Namun, sebelumnya Dubois meneliti di Payah Kumbuh, Sumatera, tahun 1887. Pada tahun 1891 Eugène Dubois, yang adalah seorang ahli anatomi menemukan bekas manusia purba pertama di luar Eropa yaitu spesimen manusia Jawa. Pada 1893 Dubois menemukan fosil manusia purba Pithecanthropus erectus serta fosil hewan dan tumbuhan purba lain.

Situs Museum Trinil dalam penelitian merupakan salah satu tempat hunian kehidupan purba pada zaman Pleistosen Tengah, kurang lebih 1 juta tahun yang lalu. Situs ini sangat penting sebab di sini selain ditemukan data manusia purba, juga tersimpan bukti konkrit tentang lingkungannya, baik flora maupun faunanya. Museum Trinil, berlokasi di Dukuh Pilang, Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi, Propinsi Jawa Timur. Atau kurang lebih 13 kilometer arah barat pusat kota Ngawi.

Spesimen yang dapat ditemukan pada situs ini antara lain adalah fosil tengkorak manusia purba (Cranium Phitecantropus erectus, Karang Tengah Ngawi), fosil tengkorak manusia purba (Cranium Pithecantropus erectus Trinil Area), fosil tulang rahang bawah macan (Mandibula Felis tigris Trinil Area), fosil gigi geraham atas gajah (Stegodon trigonocephalus Upper Molar Trinil Area), fosil tulang paha manusia purba (Femur Phitecantropus erectus Trinil Area), fosil tanduk kerbau (Bubalus palaeokerabau Horn Trinil Area), fosil tanduk banteng (Bos palaeosondaicus Horn Trinil Area) dan fosil gading gajah purba (Stegodon trigonocephalus Ivory Trinil Area).

 

4.      Situs Gilimanuk

Situs Gilimanuk merupakan sebuah nekropolis yang penting di Asia Tenggara. Situs Gilimanuk luasnya mencapai 20 Ha, baru sebagian kecil saja yang telah diteliti melalui penggalian arkeologis. Selama 40 tahun penyelidikan ini telah ditemukan bukti-bukti yang meyakinkan, bahwa situs Gilimanuk punya potensi sumberdaya arkeologis yang sangat padat, yang mengandung informasi mengenai kehidupan sosio-kultural komunitas Gilimanuk yang hidup sekitar 2000 tahun silam. Bukti-bukti itu antara lain 130 rangka manusia dewasa dan anak-anak, ada yang lengkap dan fragmentaris. Semua dikuburkan di situ dengan sistem penguburan yang beragam, yaitu ada yang menggunakan tempayan dan serkofagus sebagai wadah kubur dan ada juga yang dikuburkan di tanah secara langsung, tanpa wadah kubur.

Selain rangka itu, dalam 55 buah kotak galian telah ditemukan juga berpuluh-puluh gerabah yang bentuknya amat beragam seperti tempayan, periuk besar-kecil, kendi, pedupaan dan di antaranya ada yang memakai hiasan dan ada juga yang polos. Sebagian dari gerabah ini masih utuh dan sebagian rusak atau pecah. Temuan lainnya benda-benda bekal kubur, yaitu barang-barang perunggu (galang, tajak) sampai manik-manik. Di samping itu, ditemukan juga sisa-sisa makanan, yaitu tulang ikan, kerang laut, babi hutan, jenis unggas dan lain-lainnya, yang mungkin dahulu hidup di sekitarnya.

 

5.      Situs Ngandong

Ngandong merupakan salah satu situs arkeologi yang terletak di Jawa Timur, Indonesia. Ekskavasi di situs ini dimulai pada tahun 1931 oleh Eugene Dubois. Dubois mulai terkenal setelah ekskavasi Ngandong yang diikuti dengan ekskavasi di situs lain yaitu Sambungmacan. Fosil yang ditemukan di situs ini antara lain adalah 11 atap tengkorak yang diperkirakan milik dari populasi Homo erectus yang kemudian disebut sebagai Homo soloensis atau manusia Solo. Spesimen yang ditemukan tidak dalam keadaan terkubur pada lapisan arkeologi sehingga sulit diperkirakan umurnya. Tengkorak yang ditemukan sebagian besar sudah hilang tulang-tulang wajahnya, hal ini diperkirakan bahwa atap tengkorak tersebut digunakan sebagai tempat air. Selain fosil tengkorak tersebut, ditemukan juga sekitar 23.000 tulang Mammalia yang sebagian besar berasal dari golongan gajah purba, Ox dan Hippo. Selain tulang-tulang Mammalia tersebut juga ditemukan alat-alat batu hasil buatan manusia purba seperti bola batu.

 

6.      Situs Sambungmacan

Situs Sambungmacan terletak di daerah aliran Sungai Bengawan Solo, Desa Cemeng, Kecamatan Sambungmacan, Sragen, Jawa Tengah. Situs ini merupakan salah satu situs hominid utama. Beberapa fragmen tulang dari hominid ditemukan pada situs ini. Situs ini kemungkinan merupakan tempat hunian manusia purba dari masa paleolitik hingga neolitik. Fosil-sodil yang dapat dijumpai pada situsini antara lain adalah tulang binatang laut, binatang darat purba, tengkorak manusia Homo soloensis hingga peralatan untuk bertahan hidup manusia purba seperti beliung persegi.

Sambungmacan yang treletak 12 km di timur Sragen merupakan situs prasejarah yang tidak kalah penting dengan situs-situs lain yang terletak di tepi Bengawan Solo. Sisa moluska laut dapat ditemukan pada formasi Kalibeng masa pleiosen. Adapun temuan fosil vertebrata, manusia purba dan artefak  ditemukan pada formasi Kabuh yang berumur sekitar 130.000 tahun lalu pada masa pleistosen tengah, sejaman dengan temuan yang ada di Sangiran.

Jika melihat artefak yang ditemukan, seperti alat berburu berbentuk bulat (bola batu), kemungkinan Homo soloensis yang ditemukan di Sambungmacan berasal dari masa berburu dan meramu (food gathering) makanan tingkat permulaan dalam tradisi paleolitik. Namun, temuan berupa 2 kapak neolitik menunjukkan keberlanjutan budaya Sambungmacan masa bercocok tanam (food producing) yang didukung budaya neolitik.

Sambungmacan dijadikan pilihan hunian karena secara geografis daerahnya berbentuk meander dengan kelokan-kelokan yang tajam akibat adanya pengangkatan. Kondisi yang demikian menyebabkan aliran air mengalir perlahan sehingga banyak tedapat sumber makanan yang dibutuhkan oleh binatang. Bagi masyarakat berburu dan meramu, tempat ini dipilih untuk areal hunian lintas masa.

Berkaitan dengan temuan di daerah ini, pada dinding tebing sudetan di Sambungmacan terdapat endapan teras. Endapan itu tersusun atas lapisan pasir berselang-seling dengan batuan konglomerat yang berbentuk bulat. Kaena posisinyayang sekarang lebih tinggi dari Bengawan Solo, hal ini diperkirakan akibat adanya proses pengangkatan dan erosi ke bawah.

Comments

Popular posts from this blog

Filsafat Ilmu

Ektoparasit pada Kucing Liar

Tugas Kuliah: Northern Blotting