(Terjemahan Journal) SUHU INKUBASI DAN RASIO JENIS KELAMIN PADA PENYU BELIMBING MALAYSIA Dermochelys coriacea

ABSTRAK
Hasil studi rasio jenis kelamin Penyu Belimbing di Perlindungan Penyu Rantau Abang menyatakan bahwa penginkubasian telur pada pantai terbuka akan menghasilkan tetasan yang mayoritas berjenis kelamin betina, sedangkan penginkubasian telur yang dilakukan di dalam ruangan dengan suhu rata-rata tidak melebihi 29,21°C akan dihasilkan 100% tetasan jantan dan pada suhu inkubasi rata-rata 30,4°C akan diperoleh tetasan dengan jenis kelamin betina. Hasil penetasan dengan rasio 100% betina diperoleh dari penetasan telur di pantai dengan ukuran sarang yang bervariasi yaitu 25, 50, 75 dan 100 telur. Selama musim bertelur, pasir pada berbagai kedalaman sarang di sepanjang pantai pendaratan di Perlindungan Penyu Rantau Abang dan juga pasir di tiga pantai penetasan lain yang digunakan untuk pendaratan penyu memiliki suhu yang cukup tinggi sehingga diperoleh 100% tetasan betina.
Kata kunci: Penyu Belimbing Malaysia, studi rasio jenis kelamin

PENGANTAR

Telah diketahui bahwa penentuan jenis kelamin pada enam spesies penyu yaitu Caretta caretta, Eretmochelys imbricata, Chelonia mydas, Lepidochelys olivacea, L. kempii dan Dermochelys coriacea bergantung pada suhu (Janzen & Paukstis, 1991). Suhu inkubasi yang rendah diketahui akan menghasilkan tetasan dengan jenis kelamin jantan, sedangkan suhu yang lebih hangat akan menghasilkan tetasan dengan jenis kelamin betina. Masing-masing spesies memiliki suhu transisi yang kisarannya cukup sempit, di mana pada suhu transisi ini akan dihasilkan tetasan jantan dan betina dengan jumlah yang berbeda (Mrosovsky & Pieau, 1991). Pada kisaran suhu transisi, suhu yang beragam ini disebut sebagai “treshold”  oleh Bull (1980), “pivotal” oleh Mrosovsky dan Yntema (1980), “critical” oleh Pieau (1976) dan “SDT” oleh Lympus et al. (1983) akan menghasilkan rasio jenis kelamin 1:1. Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk menentukan suhu inkubasi yang dapat mempengaruhi diferensiasi seksual pada penyu, begitu juga dengan rasio jenis kelamin alami yang diperoleh dari hasil penetasan telur penyu di beberapa pantai pendaratan yang terkenal.
            Studi tentang rasio jenis kelamin pada Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) (Mrosovsky et al., 1984; Dutton et al., 1985, Lescure et al., 1985; Rimblot et al., 1985; Rimblot-Baly et al., 1987) menunjukkan bahwa suhu inkubasi telur di bawah 29,25°C akan menghasilkan 100% tetasan jantan sedangkan suhu inkubasi yang melebihi 29,75°C menhasilkan tetasan dengan jenis kelamin 100% betina. Pada suhu 29,5°C, tetasan yang dihasilkan berjenis kelamin jantan dan betina meskipun rasio antara keduanya tidak 1:1 (Rimblot-Baly et al., 1987). Beberapa laporan penelitian telah membuktikan bahwa sarang alami di pantai menghasilkan rasio jenis kelamin yang cenderung didominasi oleh tetasan betina (Standora & Spotila, 1985: Mrosovsky & Provancha, 1989) meskipun beberapa individu yang lain mampu menghasilkan tetasan dengan rasio jenis kelamin yang hampir tepat 1:1 (Mrosovsky et al., 1984; Rimblot-Baly et al., 1987). Rasio jenis kelamin 1:1 dapat terjadi dikarenakan adanya perubahan suhu di lingkungan sekitarnya atau dapat juga disebabkan oleh kesamaan distribusi dari sarang alami baik di zona yang terkena pencahayaan secara langsung ataupun yang terlindung dari pencahayaan langsung di daerah pantai pendaratan.
            Fenomena penentuan jenis kelamin berdasarkan suhu inkubasi memiliki peranan yang sangat penting dalam konservasi  penyu di mana telur akan diinkubasi dalam kotak styrofoam, atau dengan mengubur kembali sejumlah telur. Beberapa pendapat menyatakan bahwa sarang dengan ukuran yang kecil dapat mengurangi pemanasan metabolik sehingga akan menyebabkan terjadinya maskulinisasi pada tetasan.
Studi ini dilakukan bertujuan untuk menyediakan informasi mengenai pengaruh suhu dalam penentuan jenis kelamin Penyu Belimbing pada kisaran geogafris yang lebih luas. Analisis perbandingan jenis kelamin dilakukan pada tetasan Penyu Belimbing yang diinkubasi di salah satu pantai penetasan di Rantau Abang, dalam kotak Styrofoam yang disimpan di dalam ruangan dan juga dalam oven dengan suhu yang terkontrol. Pengaruh dari ukuran sarang yaitu 25, 50, 75 dan 100 telur yang diinkubasi pada pantai penetasan dikaitkan dengan keberhasilan penetasan dan perbandingan jenis kelamin dikaji dalam penelitian ini. Untuk melengkapi studi perbandingan jenis kelamin, suhu pasir pada kedalaman 40, 60 dan 80 cm di sepanjang pantai pendaratan Penyu Belimbing di Perlindungan Penyu Rantau Abang dan juga tiga pantai penetasan yang lain ditentukan selama inkubasi berlangsung untuk mengetahui kemungkinan profil suhu yang sesuai.

ALAT-BAHAN DAN METODE
Tetasan
Tetasan untuk penentuan jenis kelamin diperoleh dari dua percobaan yang dilaksanakan pada 20 Juli-12 Oktober 1986. Percobaan pertama dilakukan seperti percobaan yang dijelaskan dalam Chan (1989). Tetasan disampling dari perlakuan 1A, 2A, 3A, 4A (diinkubasi di pantai) dan dari kotak Styrofoam yaitu 1C, 3C, 4C yang disimpan di dalam ruangan. Tetasan juga diperoleh dari telur yang diinkubasi dalam oven. Suhu pada kotak 1C, 3C, 4C dimonitor selama inkubasi dengan menggunakan thermometer raksa (kisaran suhu -10-50°C, standar deviasi sekitar 0,5°)yang dimasukkan secara mendatar melalui lubang yang terletak pada bagian samping kotak. Suhu dibaca secara manual pada pukul 09.00, 12.00 dan 15.00, suhu rata-rata pembacaan digunakan sebagai suhu inkubasi harian. Suhu pada malam hari tidak dimonitor. Bagaimanapun juga, hal ini dikarenakan kotak disimpan di dalam ruangan sehingga tidak terkena panas matahari, pengaruh dari pendinginan suhu di malam hari dianggap tidak terlalu menggangu. Suhu oven diset pada 30°C tetapi suhu yang sebenarnya dibaca tiga kali sehari dengan menggunakan thermometer raksa. Suhu pada pantai penetasan tidak diukur dikarenakan masalah logistic.
Pada percobaan yang kedua, tetasan disampling dari percobaaan yang memang didesain untuk menentukan pengaruh dari ukuran sarang (berdasarkan jumlah telur per sarang). Empat ukuran sarang dengan pengulangan masing-masing tiga kali yaitu 25 telur, A1-A3; 50 telur, B1-B3; 75 telur, C1-C3; dan 100 telur, D1-D3 diuji rasio jenis kelaminnya. Untuk mengurangi pengaruh variabilitas tetasan, digunakan telur yang diperoleh dari tiga sarang alami yang berbeda. Sebagai contoh, pada ulangan 1, telur dari ketiga sarang alami digunakan untuk semua perlakuan A-D dengan perbandingan 1:2:3:4. Jumlah total kelompok telur yang digunakan dalam percobaan adalah 9 kumpulan. Telur diinkubasi di pantai penetasan sesuai dengan prosedur yang dijelaskan dalam Chan (1989). Suhu inkubasi di pantai tidak dimonitor dikarenakan alasan yang sama seperti sebelumnya.

Penentuan Jenis Kelamin
Tetasan dieuthanasi dengan menggunakan kloroform, kemudian ginjal yang ditempeli oleh jaringan gonad diambil dalam kondisi utuh dan difiksasi dalam 10% buffer formalin. Ginjal dipotong menjadi tiga segmen transversal di mana segmen bagian tengah dipersiapkan untuk histologi menggunakan teknik standar histologi. Potongan transversal setebal 4-8 mikron dibuat lalu diwarnai dengan hematoxylin dan eosin. Criteria untuk membedakan jenis kelamin tetasan mengikuti metode yang dijelaskan dalam Mrosovsky et al. (1984) & Dutton et al. (1985).

Profil Suhu Pantai Pendaratan dan Pantai Penetasan
Sebagai pelengkap dalam mengkaji rasio jenis kelamin, profil suhu di Perlindungan Penyu Rantau Abang beserta 3 pantai penetasan di tempat Perlindungan tersebut diukur suhunya. Pembacaan suhu dilakukan dengan menggunakan alat YSI Tele-termometers (Yellow Springs Instrument Co., Inc., OH, U.S.A.) seri 400 thermistor probes. Dua belas titik sampling dengan jarak antar titik 1 km dibuat di sepanjang pantai pendaratan. Titik sampling 1, bagian paling utara, berlokasi di Kampong Jambu Bangkok (4° 56.3' N, 103° 21.2'E) sementara titik terakhir dan yang terletak paling selatan, titik sampling 12, berlokasi di Kuala Abang (4° 49.7' N, 103° 25' E). Pada tiap titik sampling, suhu pasir pada kedalaman 80, 60 dan 40 cm diukur setiap bulan dari bulan Mei-Oktober 1990 (bulan-bulan di mana inkubasi telur sedang berjalan) di 2 poin, yaitu poin A dan B. Poin A terletak di bagian tengah antara daerah bervegetasi dengan batas gelombang pasang, sedangkan poin B terletak pada batas gelombang pasang. Pengukuran suhu dilakukan dengan cara menggali lubang vertical pada pasir dengan kedalaman 80 cm. Thermistor probes dimasukkan secara horizontal di bagian tepi lubang pada kedalaman yang telah ditentukan. Lubang secepatnya ditutup kembali dengan pasir galian. Pembacaan suhu dilakukan ketika suhu yang terbaca telah stabil, biasanya sekitar 2-3 menit.
Pembacaan suhu untuk 3 pantai penetasan lainnya dilakukan pada Juni-Oktober 1990 dengan interval pengukuran 1-3 minggu. Pantai penetasan A berlokasi di 4 ° 54. 9' N, 103 ° 22'E, B pada 4 ° 51.9' N, 103 ° 23.8' E dan C  pada  4 ° 50-5' N, 103 ° 24.7' E. Pada masing-masing pantai penetasan, dibuat tiga poin sampling, poin A dan C terletak pada bagian teratas dan terbawah dari ujung diagonal, dan poin B terletak di bagian tengah dari pantai penetasan. Pengukuran suhu dilakukan seperti cara yang sebelumnya, pada kedalaman 80, 60 dan 40 cm.

HASIL
Pengaruh Inkubasi di Pantai dan Kotak Styrofoam terhadap Rasio Jenis Kelamin
Dari data yang diperoleh, pengaruh inkubasi telur di pantai dan kotak Styrofoam dapat dilihat pada tabel 1. Tetasan yang dihasilkan dari telur yang diinkubasi di pantai menunjukkan kecenderungan mayoritas betina. Kenyataannya, sarang 1A, 2A dan 4A menghasilkan 100% tetasan betina. Rasio 91% betina diperoleh dari sarang 3A, hal ini dikarenakan adanya 1 gonad yang tidak dapat ditentukan jenis kelaminnya. Teknik preparasi yang kurang bagus menyebabkan gonad menghilang. Proses histologis dapat dikatakan gagal dalam mendeterminasi jenis kelamin tetasan dikarenakan tidak dapat dibedakannya jaringan ovarium dan jaringan testicular, hasil ini dapat dilihat pada tabel 1 dan 2.
Semua telur yang diinkubasi dalam kotak Styrofoam menghasilkan jantan (tabel 1). Rata-rata suhu inkubasi di dalam kotak tidak melebihi 29,21°C (tabel 1). Kotak 3C dan 4C yang diletakkan saling berdekatan pada laboratorium tertutup, menunjukkan kondisi suhu yang hampir identik. Pada percobaan ini, pemanasan metabolis mulai muncul pada hari inkubasi ke-42 dan mencapai batas suhu tertinggi yaitu 32 dan 33°C, tepatnya 5 hari sebelum telur menetas. Kelima tetasan hasil dari inkubasi di dalam oven berjenis kelamin betina semua. Hal ini sesuai dengan yang diinginkan dikarenakan suhu inkubasi dalam oven cukup tinggi (rata-rata 30,42°C, standar deviasi 0,80 dengan kisaran suhu antara28,5-33°C).

Pengaruh Ukuran Sarang terhadap Rasio Jenis Kelamin dan Keberhasilan Penetasan
Keseluruhan sarang penetasan, termasuk juga perlakuan ukuran sarang, menghasilkan keseluruhan tetasan berjenis kelamin betina (tabel 2), hasil percobaan menunjukkan bahwa hasil dari penetasan telur yang diinkubasi di pantai diperoleh rasio yang didominasi oleh betina. Meskipun suhu di pantai penetasan tidak diukur, suhu yang tinggi dapat diperkirakan karena pantai tersebut terbuka terhadap radiasi sinar matahari. Tingkat kesuksesan penetasan pada berbagai ukuran sarang dapat dilihat pada tabel 2. Analisis variansi satu arah menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antar perlakuan.

Profil Suhu Pantai Pendaratan dan Pantai Penetasan
Pembacaan suhu bulanan di 12 titik sampling sepanjang Perlindungan Penyu Rantau Abang yang dilakukan dari bulan Mei-Oktober 1990 dikelompokkan dan dirata-rata berdasarkan titik sampling, zona, kedalaman dan bulan seperti yang ditunjukkan pada tabel 4. Suhu rata-rata pada musim bersarang, termasuk di dalamnya periode penginkubasian telur, sampai dengan bulan Oktober, sangat tinggi dan melebihi 30,72°C di semua titik sampling. Suhu rata-rata di keseluruhan titik sampling ditinjau dari zona dan kedalaman hampir sama tinggi dan melebihi 30,97°C. Suhu rata-rata berdasarkan bulan berkisar antara 30,06°C pada bulan Agustus hingga 33,53°C pada bulan Mei. Bagaimanapun juga, tak ada perubahan temperatur musim yang teramati.
Tabel 5 menunjukkan pengelompokkan suhu rata-rata pada pantai penetasan berdasarkan pada penetasan, zona, kedalaman dan tanggal. Seperti pada pantai bersarang, keseluruhan suhu yang diperoleh sangat tinggi. Nilai rata-rata suhu pada pantai penetasan A, B dan C berdasarkan posisi dalam penetasan dan kedalaman menunjukkan nilai yang melebihi 30,5°C. Suhu rata-rata untuk keseluruhan pantai penetasan berdasarkan tanggal sampling melebihi 29,87°C. Pengukuran suhu pada 18 Agustus dan 4 Oktober lebih rendah dibandingkan dengan hasil pengukuran suhu pada tanggal-tanggal yang lain yaitu sebesar 29,94°C dan 29,87°C. Bagaimanapun juga, tidak dijumpai adanya perubahan suhu yang ekstrem selama waktu inkubasi.

PEMBAHASAN
Telur dari Penyu Belimbing yang diinkubasi di pantai penetasan Rantau Abang menghasilkan tetasan dengan kecenderungan jauh lebih banyak tetasan yang berjenis kelamin betina. Telur yang diinkubasi dalam kotak Styrofoam pada suhu inkubasi rata-rata tidak melebihi 29,21°C yaitu 27,04°C (kotak 1), 28,95°C  (kotak 2) dan 29,21°C (kotak 3) menghasilkan tetasan dengan rasio jenis kelamin 100% jantan. Pada suhu inkubasi rata-rata 30,42°C, dihasilkan 100% tetasan betina. Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa suhu pivotal untuk Penyu Belimbing di Rantau Abang berkisar antara 29,2-30,4°C. Dutton et al. (1985) menyatakan bahwa suhu pivotal untuk Penyu Belimbing di Suriname berkisar antara 28-30,5°C. Suhu pivotal yang lebih teliti yaitu 29,5°C untuk Penyu Belimbing di Guiana Perancis dilaporkan oleh Rimblot-Baly et al. (1987). Lescure et al. (1995) menemukan bahwa suhu inkubasi kurang dari 29,25°C, 100% tetasan jantan akan dihasilkan sedangkan pada suhu 29,75°C atau di atasnya akan dihasilkan 100% betina. Dari data hasil percobaan dan data hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa 100% tetasan jantan dihasilkan pada suhu kurang dari 29,2°C.
            Selanjutnya, diharapkan adanya penelitian yang lebih jauh guna menentukan batas suhu terendah untuk mendapatkan hasil tetasan 100% betina atau untuk memperoleh suhu pivotal yang lebih akurat. Populasi Penyu Belimbing di Rantau Abang telah menurun (Chan, 1991) sehingga tidak banyak tetasan yang dapat dipreparasi untuk penentuan jenis kelamin. Profil suhu pantai menunjukkan suhu yang sangat tinggi sehingga cenderung lebih banyak tetasan betina yang dihasilkan.
            Suhu pasir pada berbagai kedalaman sarang dari Mei-Oktober 1990 di 12 titik sampling Pantai Perlindungan Rantau Abang, begitu juga dengan tiga pantai penetasan lainnya, diperoleh nilai rata-rata yang semuanya melebihi 29,87°C. Hasil tersebut melebihi batas suhu terendah untuk penghasilan 100% betina yang dilaporkan oleh Rimblot-Baly et al. (1987). Semua tetasan yang disampling guna penentuan jenis kelamin dari Pantai Penetasan Rantau Abang pada 1986 adalah 100% betina.
Fenomena munculnya mayoritas tetasan betina sudah tidak aneh lagi untuk populasi Penyu Belimbing di Rantau Abang. Beberapa jenis penyu lain yang bersarang di pantai lain juga cenderung menghasilkan tetasan betina dengan jumlah yang lebih banyak di bawah kondisi inkubasi alami. Lebih dari 93% tetasan Caretta caretta di Cape Canaveral, Florida, USA berjenis kelamin betina; Standora dan Spotila (1985) mengestimasi bahwa kecenderungan mayoritas tetasan betina juga terjadi pada Penyu Hijau Chelonia mydas di Tortuguero, Kepulauan Seychelles dan Yemen Selatan serta terjadi juga pada Lepidochelys kempii di Rancho Nuevo, Mexico. Wibbels et al. (1987) melaporkan bahwa rasio jenis kelamin Penyu Tempayan yang belum dewasa di pesisir Samudra Atlantik Amerika Serikat 63% adalah betina. Beberapa populasi lain yang ditemukan dapat menghasilkan rasio jenis kelamin yang lebih seimbang yaitu hampir 1:1, misalnya pada Penyu Hijau dan Penyu Belimbing di Suriname (Mrosovsky et al., 1984) dan Penyu Belimbing di Guiana Perancis (Rimblot-Baly et al., 1987). Pertanyaan rasio jenis kelamin yang paling baik untuk penyu masih belum dapat dijawab. Kemungkinan, apa yang terjadi di alam secara alami di dalam tiap populasi pastilah yang terbaik.

Keseluruhan ukuran sarang (25, 50, 75 & 100 telur) yang diinkubasi di pantai penetasan menghasilkan mayoritas tetasan betina. Pengurangan ukuran sarang tidak meberikan efek maskulinisasi pada tetasan. Hal ini mungkin terjadi karena suhu pasir pada berbagai kedalaman di pantai penetasan telah melebihi batas suhu yang menghasilkan tetasan betina   

Comments

Popular posts from this blog

Filsafat Ilmu

Ektoparasit pada Kucing Liar

Tugas Kuliah: Northern Blotting