Gonocephalus chamaeleontinus

Gonocephalus chamaeleontinus adalah spesies anggota dari Familia Agamidae. Common name-nya Chamaeleon Anglehead Lizard. Kata Gonocephalus berasal dari bahasa Yunani yang berarti “anglehead” dan chamaeleontinus berarti “chamaeleon-like”. Jadi Gonocephalus chamaeleontinus adalah kadal yang memiliki kepala bersudut/bersegi dan meyerupai Chamaeleon (Sprackland, 2009). 

A. Klasifikasi 
Domain            : Eukaryota Whittaker & Margulis, 1978 
Kingdom          : Animalia Linnaeus, 1758 
Subkingdom     : Bilateria (Hatschek, 1888) Cavalier-Smith, 1983 
Branch             : Deuterostomia Grobben, 1908 
Infrakingdom   : Chordonia (Haeckel, 1874) Cavalier-Smith, 1998 
Phylum            : Chordata Bateson, 1885 
Subphylum      : Vertebrata Cuvier, 1812 
Infraphylum     : Gnathostomata Auct. 
Superclass        : Tetrapoda Goodrich, 1930 
Class                : Reptilia, Sauropsida 
Subclass           : Diapsida 
Infraclass         : Lepidosauromorpha 
Superorder       : Lepidosauria 
Order               : Squamata 
Suborder          : Lacertilia 
Infraorder        : Iguania 
Superfamily     : Acrodonta 
Family             : Agamidae 
Subfamily        : Agaminae, Draconinae 
Genus              : Gonocephalus Kaup, 1825 
Species            : Gonocephalus chamaeleontinus Laurenti, 1768 (Anonim1, 2009) 


Nom. Indig.: 
  • Chameleon Dragon (Sprackland, 2009) 
  • Javan Forest Dragon (Anonim2, 2009) 
  • Chamaeleon Forest Dragon (Etzold et al., 2003) 
  • Forest Tree Dragon (Anonim3, 2005) 
  • Chamaeleon Anglehead Lizard (Etzold et al., 2003) 
  • Eared Tree Dragon (Anonim4, 2009) 
  • Bunglon Hutan (Anonim5, 2009) 
Synonyms: 
  • Agama gigantea Kuhl 1820 
  • Agama tigrina Merrem 1820 
  • Galeotes lophyrus Schlegel 1844 
  • Goniocephalus chamaeleontinus Hendrickson 1966 
  • Gonyocephalus chamaeleontinus Boulenger 1885 
  • Gonyocephalus sumatranus Boulenger 1885 
  • Iguana chamaeleontina Laurenti 1768 
  • Lophyrus sumatranus Schlegel 1848 
  • Lophyrus tigrinus Dumeril & Bibron 1837 (Anonim6, 2007) 

B. Morfologi 
Genus Gonocephalus merupakan sekelompok hewan anggota Lacertilia dengan ukuran tubuh yang cukup besar jika dibandingkan dengan anggota Agamidae lain. Kelompok hewan dari genus ini dibedakan dari Agamid lain berdasarkan bentuk kepalanya yang unik, seringkali karena bentuk kepalanya yang berbeda dari anggota Agamid lain, genus ini disebut juga dengan “Anglehead”. Seperti Agamid lain, genus ini memiliki kemampuan merubah warna yang lebih utama disebabkan oleh perubahan mood (rasa takut, stress, dll) daripada digunakan untuk kamuflase (Grzimek, 2003). 

Gonocephalus chamaeleontinus dewasa mampu mencapai panjang total sekitar 40 cm. Tubuh memiliki warna dasar hijau dengan bintik-bintik orange, kuning hingga kecoklatan. Mata dilindungi oleh kelopak mata yang dapat digerakkan (Anonim7, 2009). Di sekeliling mata terdapat warna agak gelap (Grzimek, 2003). Pada jantan, kulit di sekitar mata berwarna biru terang (Sprackland, 2009). Gonocephalus chamaeleontinus memiliki gigi heterodont dengan tipe gigi acrodont sehingga dimasukkan dalam superfamilia Acrodonta. Lidah bagian dorsal dari hewan ini ditutupi oleh papilla reticular (Zug et al., 2001). 

Kepala berukuran pendek dengan bangun segitiga yang kelihatan jelas serta terdapat duri di atas mata (Sprackland, 2009). Sisik kepala berukuran sedang dengan ukuran yang sedikit berbeda-beda dan halus (tidak berlunas), terdapat sedikit tubercle yang melebar di atas telinga. Sisik labial atas berjumlah 10-12 dan sisik labial bawah berjumlah 11-14 sisik. Sisik badan bagian dorsal tersusun dari sisik-sisk kecil dan halus dengan beberapa sisik yang melebar di sana-sini, sisik ventral berukuran jauh lebih besar jika dibandingkan dengan sisik bagian dorsal, sisik ventral juga halus inilah salah satu ciri pembeda dengan Gonocephalus kuhli. Kantong gular lebar ditutupi oleh sisik kecil yang halus, di bagian ujung anterior bergerigi. Memiliki lubang telinga luar, membrana tympanum kelihatan mencolok dengan ukuran sekitar setengah dari diameter mata ketika terbuka. Moncong dari rostral sampai ke hidung kira-kira sama panjangnya dengan diameter mata, pada betina biasanya di bagian moncong ini terdapat peninggian yang agak membulat. Batas supraciliaris sangat jelas meninggi ke bagian posterior dan kaku. Canthus rostralis menonjol sangat jelas, memanjang dari nostril hingga bagian atas mata (De Rooij, 1915). 

Tubuh sangat ramping/mampat, nuchal crest dan dorsal crest menyambung, bermula segaris dengan posterior border mata. Bentukan nuchal crest ini sangat tinggi, tingginya hampir sama dengan panjang moncong. Nuchal crest ini tersusun oleh sisik-sisik pipih dan panjang dengan bagian dasar yang terdiri dari 3 baris sisik dengan ukuran yang lebih kecil. Dorsal crest jauh lebih pendek daripada nuchal crest karena tereduksi menjadi gunungan ke arah posterior. Nuchal crest dimulai dari bagian occipital, sedangkan dorsal crest bermula dari akhir nuchal crest hingga ke ekor. Nuchal crest pada spesimen jantan berkembang lebih baik daripada nuchal crest yang terdapat pada spesimen betina (De Rooij, 1915). 

Ekor yang dimiliki Gonocephalus chamaeleontinus berbentuk memipih dengan gerigi di bagian ujung atas dan ditutupi dengan sisik berukuran besar yang halus (terkadang berlunas) dan sisik berlunas dengan ukuran yang lebih besar di bagian inferior. Panjang ekor sekitar 1 ¾ dari panjang kepala dan badan (SVL). Ekor pada hewan ini memiliki fungsi sebagai stabilisator/alat penyeimbang ketika dia bergerak di antara pepohonan. Ekor memiliki pola warna cincin-cincin gelap dan terang. Panjang ekor sekitar 25,6 cm (De Rooij, 1915). Ketika ekor putus, hewan ini tidak akan mampu untuk melakukan regenerasi seperti beberapa kadal lain (Grzimek, 2003). 

Ekstremitas berjumlah empat, sepasang tungkai di bagian anterior dan sepasang lainnya terletak di bagian posterior dekat dengan kloaka. Tungkai berkembang baik dengan ukuran yang relatif panjang dan bentuk yang ramping. Ekstremitas posterior lebih panjang daripada ekstremitas anterior sehingga panjangnya ketika diluruskan dapat mencapai posterior border dari mata. Sisik pada tungkai sedikit berbeda, halus atau sedikit berlunas. Biasanya, jari keempat cenderung sedikit lebih panjang dibandingkan jari ketiga (De Rooij, 1915). Pada masing-masing tungkai terdapat lima jari yang dilengkapi dengan cakar tajam. Cakar yang tajam ini merupakan adaptasi kehidupan semi arboreal sebagai alat untuk mencengkeram batang pohon sehingga hewan ini dapat bergerak dengan mudah pada batang pohon untuk mengejar mangsa ataupun melarikan diri dari predatornya (Sprackland, 2009). 

Gonocephalus chamaeleontinus memiliki kemiripan karakteristik kromoson dengan G. liogaster, G. bellii dan G. grandis (spesimen dari Semenanjung Malaysia) serta G. miotympanum dan G. grandis (spesimen dari Kalimantan). Kemiripan karakteristik itu dapat dijumpai pada kromosom diploid nomor (42) serta adanya 22 “biarmed macrochromosome”/kromosom besar yang memiliki 2 buah lengan. Hal ini menunjukkan hubungan monophyletic dari semua spesies yang telah disebutkan di atas (Diong et al., 2008). 


C. Habitat dan Persebaran 
Gonocephalus chamaeleontinus merupakan Reptilia semi arboreal (hidup di pepohonan). Hewan ini biasa ditemukan di dataran tinggi terutama daerah hutan hujan tropis yang kanopinya terbuka atau tidak terlalu rapat. Di pegunungan, hewan ini mudah dijumpai pada pohon-pohon yang letaknya dekat dengan sungai atau badan air. Hewan ini menempati hutan yang memiliki pencahayaan cukup serta kelembaban tanah dan udara tertentu. Hewan ini dapat dijumpai pada ketinggian 800-1500 m di atas permukaan laut (De Rooij, 1915). Menurut Anonim8 (2003), Gonocephalus chamaeleontinus dapat ditemukan hingga ketinggian 1600 m di atas permukaan laut sehingga persebarannya juga meliputi daerah dataran rendah. 

Hewan ini banyak ditemukan di daerah tropis Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia. Daerah persebaran geografisnyanya meliputi Sumatra (Pulau Mentawai, Deli, Batak, Bengkulu, Padang, Singkarah, Bangka, Natuna, Nias, Sipora, Siberut, Pulau Banyak, Tanahmasa), Jawa (Sukabumi, Cibodas, Cisurupan, Sindanglaia, Yogyakarta), Malaysia Barat, Pahang dan Pulau Tioman (De Rooij, 1915). 


D. Perilaku 
Gonocephalus chamaeleontinus merupakan hewan diurnal, yaitu melakukan semua aktivitasnya pada siang hari sedangkan pada malam hari hewan ini cenderung inaktif dan memanfaatkan waktunya untuk beristirahat dan tidur di batang pohon yang berukuran agak kecil dengan posisi vertikal. Hal ini dilakukan sebagai persiapan untuk melarikan diri jika tiba-tiba muncul predator yang akan memangsanya. Untuk itu, cakar yang tajam dan kuat sangat diperlukan dalam hal ini. Ketika hewan ini akan berpindah, yang dilakukannya adalah berlari jarak pendek kemudian berhenti dan mengamati sekitarnya, jika keadaan tidak berbahaya maka ia akan melanjutkan perjalanan dengan langkah seperti tersebut di atas secara berulang-ulang. 

Gonocephalus chamaeleontinus merupakan hewan semi arboreal, hewan ini beraktivitas di pohon ketika basking, tidur serta memantau daerah kekuasaan pada spesimen jantan. Pada spesies ini, pejantannya memiliki derah teritori sendiri, apabila pejantan lain masuk ke wilayah teritori pejantan lain, maka kedua pejantan itu akan bertarung dengan melakukan adu kepala dan melebarkan gular sac untuk mempertahankan wilayahnya. Akan tetapi jika yang memasuki wilayahnya adalah spesies betina, maka pejantan akan mendiamkannya. Pejantan juvenil yang memasuki wilayah pejantan dewasa lain akan dibiarkan saja layaknya spesimen betina. Pada spesimen betina juga berlaku daerah kekuasaan. Ketika memanjat, spesies ini cenderung memilih batang dengan diameter 20-60 mm dikarenakan batang dengan ukuran ini mudah dicengkeram dan juga mempermudah dalam mengamati keadaan sekitarnya. Luas daerah teritori pejantan berkisar antara 300-700 m2. Pejantan biasanya melakukan aktivitasnya hampir 50% di tanah sedangkan betina menghabiskan kurang dari 50% aktivitasnya di tanah kecuali pada saat bertelur betina beraktivitas di permukaan tanah sebesar 71%. 

Gonocephalus chamaeleontinus merupakan hewan yang mudah merasa takut dan cepat stress ketika berhadapan dengan manusia atau predatornya. Jika hewan ini mengalami stress, hal ini dapat dilihat dengan adanya perubahan warna dari cerah ke gelap. Ketika tertangkap, hewan ini akan meronta sekuat tenaga dan mencoba menggigit apapun yang memegangnya dan menggunakan cakarnya juga untuk pertahanan diri. 


E. Feeding, Breeding dan Pertahanan Diri 
Hewan ini merupakan ambush predator, perilaku dalam berburu adalah sit and wait serta mengamati (visual/observe). Akibat dari pola berburunya yang seperti itu, kadal gunung ini cenderung memakan mangsa yang sering bergerak dan aktif seperti serangga, misalnya belalang, kecoa, belatung (meskipun ketika melewati usus tidak dicerna) dan jangkrik. Beberapa sumber juga mengatakan bahwa hewan ini memakan cacing meskipun jarang sekali ditemui dikarenakan sangat jarang melihat cacing yang berjalan-jalan di atas tanah kecuali setelah hujan turun. Di alam liar, hewan ini juga dapat dijumpai memakan laba-laba, semut, kumbang dan kupu-kupu. Di dalam suatu percobaan, hewan ini dijumpai menangkap semua mangsa yang bergerak meskipun tak semua yang ditangkap akan dimakan. Contoh mangsa-mangsa yang hanya ditangkap saja dikarenakan pergerakannya antara lain anakan tikus, siput (dalam pemeliharaan, hewan ini termasuk makanan Gonocephalus chamaeleontinus) dan kadal kecil. Di alam, hewan ini dijumpai meminum air dengan beberapa cara antara lain berbaring di dekat genangan air yang dangkal kemudian menggerakkan rahangnya sehingga air akan masuk ke mulut dan juga menjilati tetesan air setelah hujan turun. 

Untuk mendapatkan mangsa, hewan ini akan mengamatinya pada ketinggian sekitar 1,4 m. Setelah mangsa berada dalam jangkauan, hewan ini akan menjatuhkan diri di sekitar mangsa lalu menangkapnya dan dibawa naik ke pepohonan pada ketinggian sekitar 1,6 m kemudian baru memakan mangsanya. 

Gonocephalus chamaeleontinus betina bereproduksi dengan cara bertelur (ovipar). Gonocephalus chamaeleontinus betina biasanya matang pada bulan November-Desember. Betina ini cenderung akan berpindah ke daerah yang vegetasinya lebih terbuka untuk bersarang dan bertelur. Dalam satu musim kawin, betina mampu bertelur beberapa kali. Jarak waktu bertelur yang satu dengan yang selanjutnya berkisar antara 36-53 hari. Betina mampu memproduksi 5-8 telur setiap peneluran. Telur akan diinkubasi di dalam sarang yang dibuat di atas tanah. Telur dikubur dangkal dalam sarang yang berbentuk segitiga dengan kedua sisinya memiliki panjang sekitar 5-9 cm dan kedalaman sekitar 1-4 cm. Induknya mungkin membuat beberapa sarang percobaan sebelum akhirnya berhasil membuat saranng yang sesungguhnya. Sarang dibuat tidak dalam/dangkal dikarenakan lantai hutan hujan tropis pada area yang vegetasinya terbuka masih dapat memperoleh pencahayaan yang cukup sehingga tanah menjadi hangat. Temperatur yang paling ideal untuk inkubasi telurnya adalah 21-24˚C dengan kelembaban sekitar 70-80%. Lamanya inkubasi pada suhu yang kurang stabil berkisar antara 99-101 hari. Tetasan memiliki tingkah seperti spesiemen mati ketika disentuh, yaitu dengan mata tertutup, tubuh bergelung dan tak ada pergerakan kepala serta ekstremitas. Juvenil yang sudah berumur 80-100 hari sudah dapat memangsa jangkrik dan serangga kecil lainnya. 

Pertahanan diri pada hewan ini ada beberapa macam (multiple defense), yang paling utama dan paling mudah dilakukan adalah escape/melarikan diri. Jika tidak bisa melarikan diri, hewan ini akan melakukan kamuflase, meskipun perubahan warna yang terjadi hanya perubahan warna dari terang ke gelap. Karena hewan ini memiliki kemampuan berubah warna, hewan ini disebut chamaeleontinus (Chamaeleon-like). Hewan ini jika terancam juga akan menggigit dan menggunakan cakarnya untuk melepaskan diri. Dengan adanya ”pinneal eye” atau biasa disebut sebagai mata ketiga, hal ini sangat membantu hewan ini untuk mengetahui ancaman yang tak terlihat oleh matanya. Pinneal eye merupakan organ yang berfungsi sebagai mekanoreseptor dan thermosensor. Organ ini terletak di kepala bagian parietal dan berjumlah satu buah. Hewan ini juga memanfaatkan batang pohon ketika melihat predator di sekitarnya yaitu dengan berbalik ke sisi pohon yang lain untuk menghindari pandangan predator. 

Untuk pemeliharaan, terrarium yang digunakan minimal berukuran 80x50x60 cm, akan tetapi lebih baik jika menggunakan terrarium berukuran 100x50x100 cm. Temperatur harus dijaga, pada siang hari sekitar 20-26˚C dan suhu malam hari antara 16-18˚C. Kelembaban juga harus dijaga dengan penyemprotan berkala sehingga kelembaban terrarium sekitar 80-90% (Anonim7, 2008). Menurut Anonim8 (2003), Manthey dan Schuster menyarankan ukuran terrarium rata-rata tidak kurang dari 150x150x70 cm, di dalamnya ditanami dengan tanaman yang kokoh dengan cabang yang besar dan kecil. Model dasar dari terrarium untuk spesies ini adalah hutan hujan atau hutan berawan (cloud-forest) yang membutuhkan kelembaban tetapi tidak terlalu memerlukan temperatur yang tinggi. De Vosjoli menyarankan bahwa spesimen ini dipelihara oleh para spesialis dan bukan untuk para pemula dikarenakan hewan ini mudah stress sehingga akan sulit dalam makan sehingga kemungkinan kematian akan sangat tinggi. 


F. Konservasi dan Pemanfaatan 
Menurut data CITES, Gonocephalus chamaeleontinus termasuk dalam kategori Appendix 2 (endanger species). Menurut status itu, hewan ini masih cukup melimpah di alam akan tetapi sudah tidak boleh dperjualbelikan lagi. Padahal, hewan ini seringkali diperdagangkan sebagai pet baik di Indonesia sendiri maupun diekspor ke luar negeri. Di luar negeri, hewan ini diperdagangkan dengan harga yang bervariasi yaitu berkisar sekitar 59 Euro. Di Indonesia sendiri, hewan ini juga diperdagangkan di pasar tradisional seperti Pasar Ngasem dengan harga yang cukup murah yaitu sekitar empat puluh ribu rupiah. Jika hewan ini terus-terusan dieksploitasi, lama kelamaan hewan ini akan punah dan menghilang dari urutan rantai makanan dan jaring-jaring makanan sehingga keseimbangan alam pun akan bergeser dikarenakan adanya ”missing link”. Masalah lain yang dihadapi oleh spesies ini adalah rusaknya habitat mereka dikarenakan ulah manusia-manusia yang kurang bertanggung jawab di antaranya adalah penebangan hutan secara liar. Jika habitat mereka rusak, kemungkinan mereka untuk tetap bertahan hidup pun semakin kecil. 


G. Keterangan Tambahan 
Sex dimorfisme pada hewan ini dapat dilihat dari pola warnanya, jantan biasanya memiliki warna yang lebih cerah yaitu dengan munculnya spot-spot berwarna orange, kuning atau kecoklatan sedangkan pada betina pola warna cenderung hanya terdiri dari warna dasar hijau dan spot-spot kehitaman. Meskipun sebenarnya pola warna ini tergantung pada lokalitas, spesimen jantan dari Sumatra keseluruhan berwarna kecoklatan. Beberapa sumber menyebutkan juga bahwa kantong gular sangat berkembang pada jantan. Menurut Sprackland (2009), adanya kulit berwarna biru cerah di sekitar mata juga merupakan petunjuk bahwa hewan ini jantan. Pada musim kawin, berbeda dengan beberapa Lacertilia lain, pejantan G. chamaeleontinus tidak memiliki kelenjar femoral untuk membantu perkawinannya. Selain itu, dorsal crest pada jantan berkembang dengan baik (De Rooij, 1915). Parasit yang seringkali dijumpai pada spesimen ini adalah kutu.

Comments

Popular posts from this blog

Filsafat Ilmu

Ektoparasit pada Kucing Liar

Tugas Kuliah: Northern Blotting